Rabu, 17 Juli 2013

Sebuah Kisah Dahlan Iskan di Provinsi Riau

Semasa menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan pernah mengunjungi tiga kabupaten di Provinsi Riau dalam sehari. Kunjungan itu untuk menindak lanjuti pematangan perencanaan pembangkit-pembangkit listrik di Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Kepulauan Meranti.

Dahlan Iskan datang dari Jakarta bersama Kadiv Perencanaan Sistem Kelistrikan PLN Pusat Djoko Prasetyo. Dahlan tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru sekitar pukul 09.00 WIB. Kedatangannya disambut langsung General Manager PLN Wilayah Riau dan Kepulauan Riau (WRKR), Djoko R Abumanan dan CEO Riau Pos Media Group, H Makmur SE Akt MM. Dahlan dan rombongan langsung melanjutkan perjalanan ke Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu menggunakan jalur darat, menuju lahan pembangunan PLTG di Desa Gudang Batu Kecamatan Pasir Penyu. Dalam waktu dekat, di lahan ini dibangun PLTG 20 MW.

Kedatangan di Rengat langsung disambut Bupati Inhu, Yopi Arianto. Dahlan langsung berdiskusi dengan Manajer PLN Cabang Rengat, Agustian mengenai apa kendala dan masalah di lahan. Agustian menerangkan,  lahan sudah disiapkan dan seperti dilihat sendiri sudah dikerjakan. Bupati Yopi sendiri sangat antusias dengan pembangunan PLTG di wilayahnya. Perencanaan pembangunan PLTG pun dibahas. PLN akan membangun PLTG 2 X 300 di wilayah Peranap. Usai melihat lahan, rombongan langsung menuju Tembilahan, Inhil.

‘’Boleh saya satu mobil dengan Bupati,’’ ujar Dahlan sambil berjalan menuju mobil Land Cruiser Prado BM 1 B plat merah milik Bupati. Akhirnya Dahlan menyetir mobil tersebut sampai ke Kecamatan Kuala Cenaku. Rombongan sempat makan bersama Bupati. Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya saat makan bersama bupati, Dahlan langsung mengambil piring dan menyendokkan nasi untuk Bupati termuda di Riau tersebut.

Minta Lokasi PLTU Dipindah
Usai makan bersama, perjalanan langsung dilanjutkan ke Tembilahan. Meski tak sampai satu jam di Bumi Sri Gemilang, Dahlan melihat langsung lokasi pembangunan PLTU 2 X 7 MW di Parit 21, Kelurahan Sungai Beringin. Ketika itu, Dahlan Iskan tampak tercengang dan mengatakan ‘’Wow’’ beberapa kali saat melihat hamparan kawasan rawa dengan luas puluhan hektare, di mana 10 hektare di antaranya akan jadi tempat berdirinya konstruksi bangunan PLTU 2 X 7 MW dengan nilai investasi sekitar Rp300 miliar. Ditemani langsung Sekda Inhil, H Alimuddin RM, GM PLN WRKR Djoko R Abumanan, Manajer PLN Cabang Rengat, Agustian, serta Manajer PLN Ranting Tembilahan Desril Naldi dan sejumlah petinggi PLN WRKR, Dirut PLN Dahlan Iskan menanyakan di titik mana PLTU akan dibangun. Menurut Agustian sebagai pihak kontraktor, titiknya ada di pinggir jalan yang kini masih ditimbun pasir uruk.

Dahlan sempat mengadakan rapat kecil di sebuah jembatan menuju ke lokasi. Sampai di lokasi, Dahlan sedikit heboh melihat lahan dan rencana pembangunan yang sedikit jauh dari sungai. Melihat kondisi lahan yang persis di pinggir Sungai Indragiri dan hanya berjarak sekitar 1 Km di hilir dermaga pelabuhan Parit 21, dia dengan tegas minta titik lokasi PLTU dipindah ke pinggir sungai. Alasannya, semua aktivitas pembangunan bergantung pada sungai tersebut. Mulai dari pengambilan pasir uruk, maupun kedatangan material berupa besi, turbin, hingga masuknya suplai batubara sebagai bahan bakar PLTU.

‘’Mengapa tak membangun langsung di pinggir sungai. Semua aktivitas PLTU tak ada hubungannya dengan darat. Transportasi batubara dan semua operasionalnya langsung di sungai,’’ ujar Dahlan sembari menunjuk titik-titik pada peta darurat yang ia gambar sendiri di jalan berpasir menuju lokasi pembangunan PLTU. Saat itu, juga hadir utusan kontraktor pemenang tender PLTU yang turut mencoret-coretkan kayu di tanah. Dalam perencanaan penimbunan lahan, Dahlan juga memerintahkan untuk menimbun seluas dua hektare saja agar lebih cepat pengerjaannya dari rencana semua yang menimbun lokasi di pinggir sungai seluas sembilan hektare. Melihat lokasi pembangunan PLTU, dia juga menyarankan penimbunan pasir uruk dilakukan sedalam 6 meter untuk dua hektare dari total 10 Ha lahan yang tersedia. Itu juga untuk menghemat biaya dan percepatan pembangunan PLTU 2 X 7 MW di Tembilahan. Karena air sungai cukup keruh, kebutuhan air untuk PLTU lebih dulu harus dimineralisasi menggunakan alat khusus. Saat mengemukakan ide-idenya, Dahlan ingin kawasan PLTU yang ada di tanah rawa, harus tahan terhadap banjir selama lebih kurang 50 tahun setelah pembangunan. 

‘’Setelah melihat lahan tadi, saya punya beberapa ide, misalnya kalau rencana membangun PLTU-nya di dekat jalan, saya minta dipindah ke lebih dekat sungai, karena pembangunannya akan lebih cepat,’’ ujar Dahlan. Ditegaskannya, perhitungan pembangunan PLTU harus dilakukan dari sekarang. Jangan sampai baru 25 tahun dibangun, LPTU sudah runtuh terkena pasang surut air laut. Makanya, timbunan uruk harus dilakukan 6 meter. Setelah berdiskusi dengan anggota PLN lainnya, Dahlan langsung melanjutkan perjalanan ke pelabuhan kargo yang berjarak sekitar seratus meter. Sambil menunggu speedboat, Dahlan mengatakan ada solusi sementara sebelum PLTA di Tembilahan selesai.

‘’Di Rengat akan dibangun pembangkit sebesar 20 MW.Jadi pembangkit isolated diesel di sana bisa dipindahkan ke Tembilahan untuk meningkatkan kemampuan pasokan di Tembilahan. Ada sekitar sembilan mesin pembangkit yang bisa kita pindahkan disana,’’ ujar Dahlan.

Menanggapi kedatangan Dahlan ke Tembilahan, Sekda Inhil H Alimuddin RM mengatakan Pemkab Inhil kedatangan tamu istimewa dan diharapkan jadi berkah bagi Inhil. Sebab, dalam kunjungannya, Dahlan juga memberi petunjuk mengenai percepatan pembangunan PLTU 2 X 7 MW.

‘’Kita harap PLTU ini segera terwujud dan diselesaikan tepat waktu agar pasokan listrik masyarakat Inhil bisa lebih terjamin,’’ ujar Alimuddin. Rombongan Dirut PT PLN meninggalkan Tembilahan sekitar pukul 15.00 WIB menggunakan speedboat menuju Selatpanjang. Kemudian rombongan Dahlan bersama GM PLN WRKR serta Deputi Humas, Suhatman naik speedboat Tenggiri menuju Selat Panjang sekitar pukul 15.00 WIB.

Dalam perjalanan, Dahlan sempat heran melihat GPS di telepon selularnya. ‘’Jalur sungai ini tak ada dalam peta. Tapi saya yakin nakhodanya sudah hapal dengan sungai ini,’’ ujar Dahlan sambil beberapa kali mengambil foto kehidupan masyarakat pinggir sungai dengan kamera ponselnya. Dengan speedboat berkecapatan sama dengan 32 Km per jam, rombongan sampai di Pelabuhan Tanjung Harapan, Selatpanjang, Kabupaten Meranti sekitar pukul 20.00 WIB, Rombongan langsung disambut Bupati Meranti, Irwan Nasir MSi dan pejabat tinggi Kabupaten Meranti. Setelah bicara sambil berjalan di pelabuhan, Dahlan minta pada Irwan agar dia yang mengendarai mobil Bupati, Camry hitam BM 1212 A. Irwan sempat kaget, namun ikut saja dan membiarkan Dahlan menyetir menuju Hotel Grand Meranti di Jalan Kartini Selatpanjang. Sampai di hotel, Irwan sudah mempersiapkan peta pembangunan wilayahnya dan rencana-rencana pembangunan pembangkit yang sudah lama terkendala. Akhirnya Dahlan mengetahui dari paparan itu, Meranti memiliki sumber daya alam berupa gas yang dikelola PT Kondur dan PT BOB.

Pernah ada kesepakatan sebelumnya dengan pemerintah bahwa BP Migas menyerahkan pengelolaan gas ke PT BOB, namun harus membangun pembangkit listrik untuk Meranti. Tapi PT BOB menyerah dan tak mampu membangun pembangkit. Sambil menerangkan sumber masalah itu, perjalanan survei lokasi pembangunan PLTG 2x3 MW di Gogok Desa Insit Selatpanjang juga terlaksana. Usai meninjau lokasi, Dahlan juga sempat mengunjungi Vihara Sejahtera Sakti yang berumur hampir seratus tahun di Jalan Ahmad Yani Selatpanjang. Usai mengunjungi vihara, rombongan masuk ke warung kopi Jumbo yang berjarak seratus meter dari vihara. Diskusi tentang pembangunan pembangkit terus berlanjut. 

Dahlan Iskan melalui ponselnya sempat menghubungi beberapa pihak untuk menanyakan gas di Selatpanjang. Akhirnya, Dahlan dan Bupati serta Djoko R Abumanan sebagai GM PLN WRKR sepakat.‘’Saya sudah menghubungi BP MIGAS dan intinya setuju gas dikelola untuk pembangkit, tugas GM membangun pembangkit dan Bupati menjelaskan dan mengusahakan PT BOB mundur,’’ ujar Dahlan.

Irwan pada Riau Pos menjelaskan, pada intinya dari beberapa pertemuan terdahulu, PT BOB sudah menyerah dan memberi gas pada Pemkab untuk dikelola. ‘’Sekarang kita dapatkan pernyataan tertulis dari BOB, secepatnya akan kita usahakan,’’ ujar Irwan.

Sementara Djoko mengatakan, kalau sudah jelas urusan antara BOB dengan Pemkab, untuk pembangunan pembangkit bukan masalah lagi. 

‘’Yang jelas Bupati sangat berperan dalam urusan ini untuk menyatakan gas dikelola Pemda,’’ ujar Djoko.

Akhirnya setelah kesepakatan itu, Irwan terlihat senyum. Dia menyatakan dia sangat ingin pembangunan pembangkit atau pasokan sebesar 30 MW untuk memenuhi keperluan listrik bagi wilayahnya. Setelah itu, rombongan kembali ke Hotel Grand Meranti untuk istirahat. Kamis (6/10) ini, rombongan Dahlan akan melanjutkan perjalanan menuju Buton, Kabupaten Siak

Sumber : Riaupos.co


POTENSI PERIKANAN PROVINSI RIAU



Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, Irwan Effendi mengatakan, potensi perikanan di Provinsi Riau cukup tinggi, yakni mencapai 132.000 ton Statistik meningkat daripada tahun sebelumnya yang hanya 127.000 ton. Potensi tersebut dapat dilihat dari beberapa sektor pengembangan, baik perikanan dan kelautan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, perairan umum, maupun budidaya kolam, tambak dan keramba.
Potensi biota di Laut China Selatan mencapai 361.430 ton, sedangkan pemanfaatannya baru 211.732 ton atau 58,8 persen. Untuk beberapa potensi, pemanfaatannya sudah melampaui batas (overfishing), seperti di Selat Malaka dan perairan umum. Potensi pengembangan di Selat Malaka senilai 84.928 ton. Namun, pemanfaatannya mencapai 84.994 ton atau 100,07 persen. Begitu juga di perairan umum, potensi pengembangannya 14.232 ton. Akan tetapi, pemanfaatannya melebihi potensi tersebut, yakni 14.354,9 ton atau 100,01 persen. Dengan kondisi ini, ikan dan biota perairan yang masih tergolong kecil dan tahap pembesaran juga tereksploitasi nelayan. Jika berlarut-larut, ini akan berdampak negatif berupa penurunan potensi dari sektor perikanan dan kelautan di Riau.
Potensi sektor perikanan tidak hanya berada di sektor kelautan, tetapi juga perikanan darat, Hal ini terlihat dari potensi budidaya kolam yang mencapai 14.000 ton, sementara pemanfaatannya baru 2.403,58 ton atau 17,17 persen, Begitu juga potensi pengembangan tambak dan keramba, pemanfaatannya masih di bawah 10 persen. Beberapa potensi inilah yang dapat dikembangkan secara optimal dalam mendukung pendapatan asli daerah untuk Pemerintah Provinsi Riau.
Kampar adalah salah satu kabupaten di provinsi Riau yang memiliki potensi perikanan budidaya air tawar yang sangat besar.  Secara geografis, Kab. Kampar mempunyai letak geografis yang strategis, yang berbatasan dengan Kota Pekanbaru dan Kab. Siak disebelah utara, Kab. Kuantan Singingi di sebelah selatan, dan berbatasan dengan Kab. Rokan Hulu dan Prov. Sumatra Barat di sebelah barat, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Kab. Pelalawan.
Dengan letak geografisnya tersebut Kampar memiliki potensi pengembangan budidaya air tawar terutama budidaya kolam, karamba dan jarring apung. Topografi Kampar juga mendukung karena memiliki banyak sungai, waduk, dan kolam. Kabupaten Kampar terdapat potensi lahan untuk budidaya perikanan terutama perikanan air tawar seluas ±6.521,30Ha, yang terdiri dari budidaya kolam 6.111,30Ha, danau/waduk (menggunakan Keramba Jaring Apung/KJA) 275Ha, dan budidaya sungai (menggunakan keramba) seluas 135Ha. Dari total potensi lahan yang tersedia tersebut, sekitar 700,03Ha atau 11,46% yang dimanfaatkan untuk budidaya kolam, dan sekitar 35,75Ha atau 8,72% yang dikembangkan dalam bentuk KJA dan keramba.
Dengan potensi yang dimiliki oleh kabupaten kampar melalui sungai kampar, waduk buatannya dan beberapa daerah yang tanahnya cocok untuk pengembangan budidaya air tawar maka kabupaten ini menjadi urat nadi bagi pengembangan budidaya air tawar provinsi Riau dan kampar telah dijadikan sebagai kabupaten minapolitan oleh ditjen perikanan budidaya. Selain sungai kampar, kabupaten ini masih memiliki Sungai Siak yang memiliki hulu di sungai sungai Tapung Kanan dan Tapung Kiri serta Sungai Sebayang yang air sungainya masih belum tercemar dan sangat bagus serta cocok untuk budidaya ikan air tawar seperti patin dan ikan nila.
Kampar sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan minapolitan perikanan budidaya. Itu sebabnya, melalui pengembangan sentra minapolitan, ikan yang dapat dikembangkan di kawasan tersebut tak lagi hanya ikan patin namun juga ikan-ikan lainnya seperti ikan mas, jelawat, nila, dan baung. Kini, volume produksi ikan secara keseluruhan di Kampar mencapai kisaran 60 ton per hari, dan 30 ton (50%) di antaranya adalah ikan patin. Seluruh produsen adalah pembudidaya skala kecil, bukan korporasi. Sentra minapolitan Kampar meliputi Sentra Kampung Patin Desa Koto Masjid. PLTA Koto Panjang, Desa Ranah, Kecamatan AirTiris, dan Kampung Ikan Jelawat.
Di PLTA Koto Panjang sendiri menurut dinas perikanan kabupaten Kampar terdapat 3.824 unit Karamba Jaring Apung yang diusahakan pembudidaya. Luas karamba yang diusahakan oleh pembudidaya rata-rata perpetaknya seluas 4x4 m2. Luas rata-rata perpetak ini jika dikalikan dengan jumlah unit karamab jarring apung maka total luas lahan KJA yang diusahakan pembudidaya di PLTA tersebut berkisar 245.000 m2. Sementara luas waduk di PLTA tersebut mencapai 12.000 ha. Komoditas yang diusahakan oleh pembudidaya sebagian besar adalah ikan mas. Sebagian besar ikan mas yang beredar di seluruh wilayah provinsi Riau berasal dari daerah ini.
Jika PLTA Koto Panjang merupakan sentranya budidaya ikan mas maka sentranya budidaya ikan patin adalah Desa Koto Masjid yang letaknya tidak begitu jauh dari PLTA. Desa Koto Masjid sendiri merupakan kawasan minapolitan ikan patin. Sebenarnya desa ini pada awalnya tidak berpotensi untuk pengembangan perikanan budidaya karena tidak terdapat sumber air untuk budidaya ikan. Namun sejak ditemukannya sumber air yang berasal dari air tanah yang sangat melimpah maka sejak saat itu berkembanglah desa ini menjadi sentranya budidaya ikan air tawar terutama ikan patin dengan wadah kolam tanah. Sekitar 50 persen produksi patin Kampar berasal dari desa ini. harga ikan patin kini tergolong wajar di kisaran Rp 11 ribu hingga Rp 12 ribu per kilogram. Potensi kolam di desa Koto Masjid ini berkisar ±230 Ha. Dari potensi lahan tersebut, yang telah dimanfaatkan dalam bentuk budidaya kolam sebesar 171 Ha atau 74,35%.
Sementara budidaya ikan dengan wadah karamba terdapat di sepanjang aliaran sungai terutama sungai Kampar. Disepanjang aliran sungai berjejer dengan rapi karamba-karamba milik para pembudidaya yang diusahakan oleh masyarakat sekitar sungai. Karamba di sini berbeda bentuknya dengan karamba yang umumnya. Bentuk karamba tidak dibuat kotak namun diujung karamba yang melawan arus sungau dibuat meruncing sehingga bila dilihat secara keseluruhan bentuk karamba seperti bentuk perahu. Bentuk seperti perahu ini dimaksudkan untuk meminimalisasi dorongan arus sungai Kampar yang begitu kuat. Salah satu desa yang menjadi pusatnya budidaya karamba adalah Desa Ranah yang juga kadang disebut sebagai Kampung Ikan Jelawat. Disebut sebagai kampung ikan jelawat karena hampir semua masyarakat yang membudidayakan ikan komoditasnya adalah ikan jelawat.Harga ikan jelawat  Luas karamba yang diusahakan pembudidaya perunitnya rata-rata memiliki luas 8x3 m2. Menurut para pembudidaya disepanjang aliran sungai ini setidaknya terdapat sekitar ribuan pembudidaya ikan.
Dilihat dari semua kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau, maka Kabupaten Kampar merupakan penghasil produk perikanan budidaya dengan peringkat tertinggi yang didukung adanya potensi yang besar dalam pengembangan komoditas unggulan terutama disektor perikanan budidaya. Sekitar 90 persen produksi perikanan budidaya provinsi Riau berasal dari kabupaten Kampar makatidak salah jika disebut Kampar adalah nyawa perikanan budidaya Riau.

POTENSI ENERGI NASIONAL PROVINSI RIAU

SKETSA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU

Dari luas areal kebun kelapa sawit sebesar 1.781.900 ha, proporsi pengelolaan sebagian besar berupa perkebunan rakyat (889.916 ha) dan perkebunan besar swasta (812.439 ha). Luas yang dikelola PTPN relatif kecil yakni sebesar 79.545 Ha. Proporsi luasan areal kebun kelapa sawit dibagi menurut pengelolanya (Perkebunan Rakyat = PR, Pemerintah = PTPN dan Perkebunan Besar Swasta = SWASTA) tertera pada Gambar 3.
Dari 11 kabupaten di Provinsi Riau(periode 2011), seluruhnya mempunyai tata guna lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit dengan luas areal tanaman >100.000 ha, hanya di Kota Dumai memiliki luas areal kebun kelapa sawit kurang dari 50.000 ha (26.520 ha) dan di Kota Pekanbaru (7.455 ha). Di Kota Dumai, seluruh areal pekebunan kelapa sawit dikelola olah masyarakat. Sebaliknya di Kota Pekanbaru hampir seluruhnya dikelola oleh perkebunan swasta. Sebaran luas areal kebun kelapa sawit menurut kabupaten dan proporsi kepemilikan, tertera pada Tabel 2. Kabupaten dengan dominansi perkebunan kelapa sawit rakyat berturut-turut di Kabupaten Bengkalis (70,04%), Rokan Hilir (60,78%), Siak (58,07%), Kampar (50,98%), dan Kabupaten Kuantan Sengingi (50,49%). Sebaliknya kabupaten dengan dominansi perkebunan swasta berada di Kabupaten Pelalawan (66,70%) dan Kabupaten Indragiri Hilir (60,23%). Tidak ada dominansi areal perkebunan yang dikelola PTPN pada masing-masing kabupaten. Persentase di atas tidak menggambarkan luasan areal kebun kelapa sawit. Urutan tiga besar luasan kebun kelapa sawit milik rakyat berturut-turut di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Rokan Hilir. Pada PTPN yang terluas terdapat di Kabupaten Rokan Hulu, Kampar, dan Kabupaten Siak. Sedang pada perkebunan swasta berturutturut di Kabupaten Rokan Hulu, Kampar, dan Rokan Hilir. Secara keseluruhan, kabupaten dengan areal kebun kelapa sawit terluas berturut-turut di Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan Rokan Hilir. 

Dikelompokkan menurut luasan areal kebun kelapa sawit di masing-masing kabupaten/kota : 
(0) dari yang tidak ada perkebunan kelapa sawit; 
(1) wilayah kabupaten dengan luasan areal kelapa sawit 1.000 – 100.000 ha
(2) wilayah provinsi dengan luasan areal kelapa sawit >100.000 – 500.000 ha)
(3) wilayah kabupaten dengan luasan areal kelapa sawit >500.000 – 1.000.000 ha 
(4) wilayah kabupaten dengan luasan areal kelapa sawit >1.000.000 ha. 

Peta sebaran wilayah dikelompokkan menurut luasan areal perkebunan kelapa sawit menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau disajikan Peta 2. Perkembangan Areal Kebun Kelapa Sawit Selama periode waktu 2008 – 2011, luas areal kebun kelapa sawit di Provinsi Riau meningkat sebesar 8% (1.673.553 menjadi 1.807.404 ha). Kenaikan ini berasal juga berasal dari pembukaan areal oleh masyarakat dan perluasan oleh perusahaan swasta. Perluasan areal kebun sawit di atas rataan perkembangan nasional. Hal ini dihitung berdasarkan perkembangan luas tanam yakni sebesar 44.617 ha/th.

Apabila status tanaman kelapa sawit dibedakan menurut status fisiologis yakni : 
(1) tanaman belum menghasilkan (TBM)
(2) tanaman menghasilkan (TM)
(3) tanaman tidak menghasilkan (TTM)

pada tahun 2011 berturut-turut sebesar 17,60%, 81,84%, dan 0,56%. Dari gambaran ini menunjukkan bahwa tanaman produktif masih cukup besar. Areal TBM kemungkinan tidak diijinkan untuk lahan penggembalaan, karena kemungkinan terjadi kerusakan tanaman pokok. Pada status TBM, persentase paling besar terdapat pada perkebunan rakyat (20,75%) dan menurun pada perkebunan swasta (15,78%), serta PTPN (1,31%). Hanya pada perkebunan rakyat yang mempunyai areal dengan status TTM sebesar 1,12% (10.065 ha). Luas areal kebun kelapa sawit dikelompokkan menurut pengelola dan status tanaman tertera pada Gambar 4.

Kamis, 11 Juli 2013

MINANGKABAU (Minang) Suku Mayoritas Penduduk Riau

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.

Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[3] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.

Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia, Selain itu etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney dan Melbourne. Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertarikh 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernamaDapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ...Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Asal usul
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulauSumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantanberhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siakmerujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.

Adat dan budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), danpenghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), danpenghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Bahasa
Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu.[31][32] Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islamyang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.

Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Olahraga
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik.

Rumah Adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebutgonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni Rumah Gadang tersebut.
Hanya kaum perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.

Pernikahan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan dimasjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya.[43] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Masakan Khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya. Dengan citarasanya yang pedas, membuat masakan ini populer di kalangan masyarakatIndonesia, sehingga dapat ditemukan di hampir seluruh Nusantara. Di Malaysia dan Singapura, masakan ini juga sangat digemari, begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan, seni memasak yang dimiliki masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan lain seperti Riau,Jambi, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu masakan tradisional Minang yang terkenal adalah Rendang, yang mendapat pengakuan dari seluruh dunia sebagai hidangan terlezat. Masakan lainnya yang khas antara lain Asam Pedas, Soto Padang, Sate Padang, dan Dendeng Balado. Masakan ini umumnya dimakan langsung dengan tangan.
Masakan Minang mengandung bumbu rempah-rempah yang kaya, seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Beberapa di antaranya diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat, sehingga tidak mengherankan jika ada masakan Minang yang dapat bertahan lama. Pada hari-hari tertentu, masakan yang dihidangkan banyak yang berbahan utama daging, terutama daging sapi, daging kambing, dan dagingayam.
Masakan ini lebih dikenal dengan sebutan Masakan Padang, begitu pula dengan restoran atau rumah makan yang khusus menyajikannya disebut Restoran Padang. Padahal dalam masyarakat Minang itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda dalam pemilihan bahan dan proses memasak, bergantung kepada daerahnya masing-masing.

SOSIAL KEMASYARAKATAN

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.

Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adatyang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.

Kerajaan
Dalam laporan De Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.[52] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Minangkabau Perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

Jumlah Perantau
Kota terbanyak ditempati perantau Minang
Kota Jumlah (2010)   Persentase
Pekanbaru 343.121 37,96%
Jakarta 305.538 3,18%
Seremban             282.971 50,9%
Medan 181.403 8,6%
Batam 169.887              14,93%
Palembang 103.025               7,1%
Bandung 101.729 4,25%
Bandar Lampung 74.071 8,4%
Tanjung Pinang       26.249 14,01%
Banda Aceh 13.606 7,8%
Singapura               2.073 0,04%
Persentase dari keseluruhan populasi kota

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan olehMochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.

Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu, hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasanKerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masakemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Perantauan Intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20 yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19 menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

SEBAB MERANTAU

Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakanKaratau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, danbesi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di Indiasebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung. Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas. Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.

Faktor Perang
"Orang Minang merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa".— Pendapat dari Audrey R. Kahin.

Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri, muncul pemberontakan di Batipuhmenentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belastingmenentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung. Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.

Merantau dalam Sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan Kiprahnya
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang. 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah diJawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri, banyak melahirkan aktivis yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnisJawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat),Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani, Mohammad Isa, danRosihan Arsyad (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumioleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis,Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain, dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di samping menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol di bidang intelektualisme.Kebiasaan mereka yang suka berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran, humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah, dan Azrul Azwar.

Di Indonesia dan Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief Corporation), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza,Dorce Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia,Si Doel Anak Sekolahan.
Di Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johorsebelum akhirnya mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau. Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya adalahAhmad Boestamam yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Parti Komunis Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris, duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besarKerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah dan Abdul Rahim Ishak muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir Saidmenciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota parlemen Belanda. Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Sementara itu Azyumardi Azra, menjadi orang pertama di luar warga negara Persemakmuran yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.

Sumber : Wikipedia









Rabu, 10 Juli 2013

JEMBATAN SIAK, RIAU



Jembatan ini terletak di Ibukota Provinsi Riau. Jembatan ini memiliki panjang 1196 m dan panjang 16,95 m. Hal unik yang terdapat di jembatan ini yaitu di puncak tiang jembatan ini terdapat restoran. Di dalam restoran tersebut kita dapat melihat pemandangan kota Riau yang mempesonA dan masuk sebagai Jembatan Terpanjang No 3 se Indonesia.

Jembatan yang berdiri megah ini terletak di kota Siak Sri Indrapura Kabupaten Siak Provinsi riau. jembatan ini menghubungkan dua daratan yang di belah  oleh sungai Siak yang konon merupakan sungai terdalam sehingga memungkinkan dilewati oleh kapal-kapal bermuatan besar. Sungai ini menjadi jalur lalu lintas alternatif selain jalan darat sehingga sungai ini begitu padat dengan kapal-kapal besar yang lalu lalang dengan syarat muatan.


KRONOLOGI PEMBANGUNAN JEMBATAN SIAK
Rencana pembangunan jembatan Siak dilakukan melalui presentasi tentang jembatan Siak di Departemen Perhubungan pada tanggal 5 September 2002.

  • Pada tanggal 31 Desember 2002 Pemda Siak mulai melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan jembatan Siak. Sampai dengan Juni 2004 tidak ada protes dari para pengguna jasa sungai Siak. Protes mulai muncul ketika pembangunan fisik jembatan mencapai 50 persen.
  • Gubernur Riau pada tanggal 6 April 2004 memohon kepada Menteri Perhubungan untuk clearance jembatan Siak dan jembatan Perawang yang berada dalam alur yang sama tinggi 23 meter.
  • Menteri Dalam Negeri melalui surat Nomor 630/1043/Otda tanggal 23 Agustus 2004 yang intinya agar Gubernur mengambil langkah – langkah agar ketinggian jembatan Siak mencapai 30 meter (Sebagai tanggapan Mendagri terhadap keluhan dari masyarakat dan berita di berbagai media cetak).
  • Pada tanggal 18 Oktober 2004 telah dilaksanakan rapat dengan seluruh instansi terkait bertempat di Depdagri dan disepakati bersama dengan prinsip saling menguntungkan diantaranya disepakati jembatan Siak 23 meter diatas permukaan air tinggi.
  • Selanjutnya tanggal 18 Oktober 2004 Menteri Perhubungan mengirim surat kepada Bupati Siak melalui surat Nomor PR 002/3/22 PHB 2004 yang intinya bahwa tinggi ruang bebas jembatan Siak 30 meter.
  • Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 621.22/3041/SJ tanggal 23 November 2004 yang intinya adalah Mendagri mengusulkan agar Menteri Perhubungan berkenan meninjau kembali surat tersebut pada angka 4 diatas.
  • Berkenan hal itu, pada tanggal 5 Januari 2005 MENPAN memfasilitasi penyelenggaraan rapat dengan instansi terkait ditingkat Pemerintah Pusat dengan alternatif penyelesaian yaitu diantaranya menunda penyelesaian pembangunan jembatan Siak dengan redesign ketinggian menjadi 30 meter dan mengalihkan anggaran APBD setempat untuk mempercepat proses pembangunan pelabuhan Buton.
  • Melalui surat Menteri Perhubungan Nomor AJ.00/I/I.PHB tanggal 6 Januari 2005 yang ditujukan kepada Bupati Siak bahwa ketinggian jembatan Siak 30 meter dan merupakan keputusan final.
  • Selanjutnya Mendagri juga melayangkan surat melalui Surat Nomor 621.22/367/SJ tanggal 15 Februari 2005 meminta kepada Bupati Siak untuk menghentikan pembangunan jembatan Siak di Sungai Siak.
  • Surat Menko Polhukam Nomor B.07/Menko/POLHUKAM/3/2005 yang intinya bahwa Mendagri mengambil langkah lebih lanjut melalui rapat teknis yang diharapkan dapat menghasilkan alternatif solusi dengan memperhatikan aspek hukum, teknik, dan administratif.
  • Melalui Surat Gubernur Riau Nomor 551/EKBANG/59.26 tanggal 29 April 2005 yang ditujukan kepada Mendagri intinya bahwa Provinsi Riau beserta jajarannya mendukung pembangunan jembatan Siak dengan ketinggian 23 meter.
  • Sedangkan pada tanggal 10 Mei 2005 telah dilaksanakan rapat koordinasi terbatas dengan seluruh stakeholders terkait (Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara PAN, Sesmenko Polhukam, Sesmenko Perekonomian, Gubernur Riau, Bupati Siak, Pertamina, dan LAPI ITB Selaku Konsultan) di Departemen Dalam Negeri.
  • Surat Gubernur Riau Nomor 550/Dishub/13.10 tanggal 16 Mei 2005 tentang tinjauan teknis pelayaran disungai Siak yang ditujukan kepada Menteri Perhubungan dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri yang intinya menyarankan perlunya pembatasan dimensi kapal dan mempercepat proses pembangunan pelabuhan Buton, pembangunan jembatan Siak dilanjutkan dengan ketinggian 23 meter, dan perlu pengkajian yang komprehensif dengan instansi terkait terhadap penataan sungai Siak.
  • Pada tanggal 17 Mei 2005 telah dilaksanakan dengar pendapat antara Komisi V DPR RI dengan Mendagri, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Meteri Pekerjaan Umum, serta Gubernur Riau, Bupati Siak, dan Walikota Pekanbaru di Komisi V DPR RI.
  • Surat Mendagri Nomor 630/1203/SJ tanggal 25 Mei 2005 yang ditujukan kepada Presiden RI telah menyarankan langkah – langkah penyelesaian jembatan Siak.
  • Surat Sekjen DPR RI Nomor PW 006/3925/DPR RI/2005 tanggal 17 Juni 2005 tentang Permohonan Penghentian Pembangunan Jembatan Siak yang ditujukan kepda Menteri Dalam Negeri.
  • Surat Gubernur Siak Nomor 550/EKBANG/92.12 a tanggal 20 Juni 2005 perihal Pembangunan Jembatan Siak.
  • Surat Wakil DPR RI Nomor PW001/4361/DPR RI/2005 tanggal 30 Juni 2005 perihal rekomendasi yang ditujukan kepada DPR RI.
  • Telah dilaksanakan Rakortas dengan Departemen teknis terkait dikantor Menko Polhukam tanggal 30 Juni 2005.
  • Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor B.3273/MenLH/07/2005 tanggal 14 Juni 2005 perihal Sungai Siak yang intinya menegaskan kembali bahwa kondisi Sungai Siak sudah kritis. Ditindak lanjuti surat Menko Polhukam Nomor B.26/Menko/Polhukam/7/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang hasil Temuan Kementerian Lingkungan Hidup yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, dan Menteri Pekerjaan Umum.
  • Surat Menko Polhukam Nomor B.25/Menko/Polhukam/7/2005 tanggal 11 Juli perihal laporan RAKORTAS Tingkat Menteri Tentang Jembatan Siak.
  • Surat pernyataan bersama antara Bupati Siak dengan Walikota Pekanbaru tanggal 15 Juli 2005 difasilitasi oleh Gubernur Riau dan telah disampaikan kepada Menko Polhukam melalui surat Mendagri Nomor 64/SPN/2005 tanggal 22 Juli 2005 – 08 – 2005.
  • Surat Mendagri Nomor 630/2148/SJ tanggal 24 Agustus 2005 perihal tindak lanjut hasil kesepakatan Rakortas tingkat Menteri tentang Jembatan Siak.
  • Keluarnya Surat Keputusan dari Menteri Perhubungan yang ditandatangani Menhub Hatta Rajasa tanggal 20 Desember 2005 memberikan izin kepada Kabupaten Siak untuk melanjutkan jembatan yang tinggal 75 persen lagi selesai. Dalam surat itu mengizinkan kelanjutan pembangunan jembatan Siak itu awal Januari 2006.
  • Januari 2006 Proses Pembangunan Jembatan Siak kembali dilanjutkan.
  • Tanggal 15 Februari 2006 dihadiri langsung Menristek RI Kusumayanto Kadiman penyambungan antara sisi utara dan selatan akhirnya tersambungkan.
  • Juli 2007 Sudah dipastikan rampung dengan kepastian peresmiannya dilakukan langsung oleh Presiden SBY, Agustus 2007.
(Sumber: KPDE Kab.Siak)


Di balik kokohnya jembatan ini, dalam pembangunannya yang 100 persen biayanya bersumber dari APBD Kabupaten Siak ini  sangat menyita waktu,  pikiran dan perhatian yang begitu besar dari pejabat daerah dan pusat kala itu.
Keberadaan Jembatan ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena akses transportasi yang sebelumnya menggunakan fery penyeberangan dan sampan dayung, kini telah beralih ke jembatan yang dapat dilalui oleh berbagai alat transportasi darat. Sehingga dengan adanya jembatan ini juga memacu dan mendorong perkembangan pembangunan Kabupaten Siak khususnya dalam bidang ekonomi dan bidang lain yang saat ini sedang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Siak.
Jembatan ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo bambang Yudhoyono pada Tanggal 11 Agustus 2007.



                                                                                        Objek Wisata Riau

                                                                                        Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai tim...